Catatan Kecil untuk Sebuah “Ucapan Syukur” Dzulqarnain bin Sunusi

Catatan Kecil
untuk Sebuah “Ucapan Syukur” Dzulqarnain bin Sunusi

Oleh Luqman bin Muhammad Ba’abduh

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على المبعوث رحمة للعالمين، أما بعد

Apabila melihat alenia pertama dan kedua, begitu indahnya ucapan yang disebutkan oleh Dzulqarnain,

“… Saya mensyukuri Syaikh Kami atas usaha yang beliau lakukan berupa perhatian dan pengarahan beliau. Semoga Allah membalas kebaikan untuk beliau. …

…. Kebenaran adalah tujuan Kami, dan nasihat Fadhîlatusy Syaikh adalah “barang yang hilang dari Kami”. Apapun yang bersumber dari Kami dan menyelisihi kebenaran, insya Allah, akan Kami rujuk darinya dengan mudah dan lapang dada.” – selesai –

Demikian kata-kata indah yang ditebar oleh Dzulqarnain, hanya Allah ta’ala yang mengetahui maksud dan tujuan dia yang sebenarnya.

Ironisnya, keindahan kata-kata itu tidak dia buktikan dengan sikap-sikap berikutnya yang ia tuangkan dalam lanjutan tulisannya tersebut. Di awal ia memolesi ucapannya dengan kata syukur, yakni tulisan ini sebagai bentuk “syukur” (ucapan terima kasih) kepada asy-Syaikh Rabi’ atas tahdzirnya tersebut. Namun pada tulisan berikutnya, ternyata dia menampik dan mementahkan tahdzir tersebut dalam bentuk pembelaan diri.

Berikut beberapa catatan kecil terhadap “ucapan syukur” tersebut, antara lain,

1. Dzulqarnain mencoba menampilkan dirinya bahwa dirinya telah membantah ‘Ali al-Halabi, Abul Hasan, dan al-Hajuri, untuk menunjukkan bahwa tahdzir asy-Syaikh Rabi’ tidak sesuai dengan realita.

Dzulqarnain mengatakan,

“Saya mempersaksikan kepada Allah bahwa sungguh Saya berlepas diri dari Ali Al-Halaby, dari bid’ah-bid’ah dan penyimpangan manhaj-nya. Para hizbiyyûn di negeri Kami (Indonesia) mengetahui bahwa Saya termasuk orang yang paling keras men-tahdzir Ali Al-Halaby dan manhaj-nya.

Dalam banyak rekaman Saya yang memuat pelajaran-pelajaran aqidah Salaf, terdapat beberapa bantahan terhadap penyimpangan Al-Halaby pada sejumlah pembahasan.

Saya telah menulis bantahan-bantahan terhadap para pengekor Al-Halaby seputar tikaman mereka terhadap guru Kami, Syaikh Rabî’, pada sejumlah masalah. Insya Allah, bantahan-bantahan berikutnya akan terus muncul.

Salafiyyûn di negeri kami dan di negeri-negeri tetangga bersuka cita dengan keberadaan bantahan tersebut.” – selesai –

Demikian pernyataan Dzulqarnain. Ketahuilah, ucapan mirip dengan ini, sebelumnya sudah pernah ia sampaikan kepada asy-Syaikh Rabi’ ketika ia mencoba membela diri di hadapan beliau, saat jalsah di hadapan beliau di makkah bulan Ramadhan 1433 H. Namun hal itu tidak menghalangi asy-Syaikh Rabi’ untuk tetap mengatakan bahwa Dzulqarnain La’aab, Mutalawwin, di atas thariqah al-Halabi dalam makar.

2. Demi membela diri dan mengesankan bahwa tahdzir asy-Syaikh Rabi tersebut tidak sesuai dengan realita, Dzulqarnain menuduh adanya pihak-pihak tertentu dari kalangan ikhwah (baca: asatidzah) yang menyampaikan berita dusta kepada asy-Syaikh Rabi’ bahwa Saya berada di atas jalan Al-Halaby.  

Dzulqarnain mengatakan,

“Oleh karena itu, kepada ikhwah yang menyampaikan berita-berita dusta kepada guru Kami, Syaikh Rabî’, bahwa Saya berada di atas jalan Al-Halaby, Saya berkata, “Antara Kami dengan Kalian ada pertemuan di sisi Rabb Kita Jalla Sya’nuhu untuk memberi hukum di antara Kita dengan seadil-adilnya. Dialah sebaik-baik Yang memberi keputusan.” – selesai –

Apakah ucapan di atas menunjukkan adanya itikad baik dari pengucapnya untuk bertaubat dengan penuh kejujuran?? Atau justru ini merupakan bukti berikutnya atas kebenaran asy-Syaikh Rabi’ dalam tahdzirnya?

Bahkan Dzulqarnain tegaskan pula,

“Saya tidak mengetahui akal apa yang digunakan oleh para ikhwah itu yang mengambarkan kepada guru Kami, Syaikh Rabî’, bahwa Saya berada di atas jalan Al-Halaby, padahal para hizbiyyîn di negeri Kami -menurut dugaan Saya- tidak berani menuduh bahwa Saya berada di atas jalan Al-Halaby.” – selesai –

Ini benar-benar sangat disayangkan dari Dzulqarnain. Sehingga hakekat sebenarnya dia bukan bersyukur terhadap tahdzir asy-Syaikh Rabi’, namun dia tidak terima dengan tahdzir tersebut, seraya menuduh ada ikhwah (baca: asatidzah) yang menyampaikan berita-berita dusta kepada asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah. Sekaligus di sini secara tersirat ada tuduhan kepada asy-Syaikh Rabi’ bahwa beliau menegakkan fatwanya di atas berita-berita dusta, dan fatwa tersebut adalah fatwa yang terburu-buru. [1]

Di samping ucapan Dzulqarnain tersebut, berkonsekuensi bahwa asy-Syaikh Rabi’ dikitari oleh para pendusta, dan beliau tidak melakukan tatsabbut dalam fatwa-fatwanya, serta mudah diarahkan oleh orang-orang di sekitarnya. Ini sebenarnya bentuk celaan yang biasa dilakukan oleh para Halabiyyin dalam menjatuhkan kredibilitas ‘ulama sunnah, terutama dalam hal ini adalah asy- Syaikh Rabi’. Di antara yang sangat demonstratif dalam melakukan cara seperti ini adalah Firanda Andirja.

Padahal sebagaimana dipersaksikan oleh murid-murid dekat asy-Syaikh Rabi’ bahkan beberapa ulama’ dan masyaikh, bahwa beliau adalah orang yang paling kuat dalam bertatsabbut sebelum berucap dan menghukumi, dan tidak gampang-gampang menerima berita dari seseorang.

Perlu diingat, tuduhan dusta oleh Dzulqarnain tersebut, tidak hanyak mengenai para ikhwah (baca : asatidzah) saja, tapi itu juga mengenai asy-Syaikh Hani’ hafizhahullah! La haula wala quwwata illa billah

Perhatikan pula ucapan Dzulqarnain, “Saya tidak mengetahui akal apa yang digunakan oleh para ikhwah itu yang mengambarkan kepada guru Kami, Syaikh Rabî’, bahwa Saya berada di atas jalan Al-Halaby.” – selesai –

Perhatikan kalimat yang bercetak tebal di atas. Menunjukkan bahwa Dzulqarnain ini tidak memahami dengan baik pernyataan asy-Syaikh Rabi’. Beliau mengatakan bahwa Dzulqarnain berjalan di atas thariqah al-Halabi dalam hal makar, tala’ub, dan talawwunnya. Semestinya Dzulqarnain menyadari ini. Bukan malah menyombongkan diri seraya menampik tahdzir tersebut dengan menyatakan bahwa dirinya membantah al-Halabi, … dst.

Bisa jadi Dzulqarnain memang benar-benar tidak memahami tahdzir asy-Syaikh Rabi’, jika ini terjadi maka disayangkan darinya.

Bisa jadi Dzulqarnain memahaminya, namun sengaja dia berucap seperti di atas untuk mengelabui salafiyyin, sebagimana kebiasaannya selama ini. sekaligus ini pun membuktikan benar-benar Dzulqarnain memang sebagaimana yang disifati oleh asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah.

3. Dalam ucapan “syukurnya” itu pula, Dzulqarnain berusaha membersihkan dari dirinya adanya sikap Talawwun dan Tala’ub

Dzulqarnain berkata,

“Juga, Saya memuji Allah bahwa Saya tidak mengenal talawwûn ‘bersikap bunglon’, tidak pula (Saya mengenal) talâ`ub ‘bermain-main’.” – selesai –

Maka ini apa namanya? Kalau bukan mementahkan tahdzir tersebut.  Apalah artinya ucapan “syukur” di awal tulisan??? Lebih parah lagi, ucapan tersebut mengandung tazkiyah untuk diri sendiri!

Kemudian Dzulqarnain mengatakan,

“Di antara yang Kami hafal dari guru Kami, Syaikh Muqbil rahimahullâh, adalah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ، ذَا الْوَجْهَيْنِ، الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ، وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

“Sesungguhnya, termasuk manusia terjelek adalah yang bermuka dua: yang datang kepada (suatu kaum) dengan satu muka, dan (datang kepada kaum lain) dengan muka yang lain.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.]“

Maka urusannya tidak hanya sekedar menghafal dari guru. Namun bagaimana bisa memahami dengan benar dan mengamalkannya. Berapa banyak orang yang hafal perkataan seorang ‘ulama, atau bahkan menghafal dengan lancar dalil-dalil dari al-Qur`an dan al-Hadits, namun ternyata dia orang paling jauh dari dalil-dalil yang dia hafal tersebut.

Sehingga tulisan Dzulqarnain tersebut tidaklah menambah kecuali semakin memperjelas – sekaligus sebagai tambahan bukti dari sekian banyak bukti – dari apa yang telah dikatakan oleh al-’Allamah al-Walid asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhal hafizhahullah terhadap Dzulqarnain, bahwa dia adalah La’aab, Mutalawwin, berjalan di atas thariqah al-Halabi dalam makar!!

Mengakhiri catatan kecil ini, sebuah nasehat untuk Dzulqarnain, bahwa

Kejujuran adalah sesuatu yang mahal, dan sikap sportif akan membawa kepada kebaikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبُ صِدِّيقًا. وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا»

“Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan, dan kebajikan akan mengantarkan kepada al-Jannah. Sesengguhnya seseorang senantiasa berbuatu jujur, sehingga dia tercatat sebagai orang yang benar-benar jujur. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada kefajiran, dan kefajiran akan mengantarkan kepada an-Nar. Sungguh seseorang itu terus-terusan berdusta, sehingga dia akan tercatat sebagai seorang pendusta.” (al-Bukhari 6094, Muslim 2607)

 وصلى الله على محمد وعلى آله صحبه وسلم

Al-Faqir ilallah
Luqman bin Muhammad Ba’abduh
15 Shafar 1435 H / 18 Desember 2013 M


[1]  Cara Dzulqarnain ini tentu mengingatkan kita pada cara-cara al-Halabi dan Abul Hasan al-Ma’ribi dalam melakukan makar dan tipu dayanya terhadap salafiyyin, bahkan juga cara-cara al-Hajuri.

Sumber:
DammajHabibah•Net


Ulasan