(Bhgn. 3) Wasilah dan Uslub (Metode) Manhaj Dakwah Salafiyyah – USLUB MUJADALAH (BERDEBAT)


oleh Asy-Syaikh Fawwaz bin Hulayil bin Rabah As-Suhaimi hafidzahullah

Makna mujadalah secara bahasa

Sebuah ungkapan innahu lajadilun, jika dia keras dalam berdebat, juga ungkapan wa innahu lamijdalun. Al Jadal artinya menghadapi hujjah (argumentasi) dengan hujjah pula. Al Mujadalah artinya berdebat atau berbantah-bantahan. Dan yang dimaksud di dalam hadits adalah mendebat atau membantah kebathilan.
Berusaha untuk menang dan menampilkan al haq (kebenaran), karena hal itu terpuji.

Pengertian mujadalah menurut istilah dan yang berhak dihadapi dengan uslub ini

Al Jadal artinya menghadapi hujjah dengan hujjah pula. Atau menyingkap syubhat (kerancuan) yang ada pada mad’u (obyek dakwah). Hal ini jelas dalam firman Allah subhanahu wata’ala:

وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [An Nahl: 125]

Dan firman Allah subhanahu wata’ala:

وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. [Al-Ankabut: 46]

Menyingkap syubhat, membeberkan dalil-dalil dan hujjah yang akurat dan mematahkan lawan serta mendekatkannya kepada al haq itulah inti al jadal.


Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan:

“Maka apabila mad’u melihat bahwa yang diyakininya adalah kebenaran, atau dia adalah seorang da’i yang mengajak kepada kesesatan, dia harus dibantah dengan cara yang baik. Dan inilah cara yang lebih tepat agar diterima, baik menurut akal maupun naqli (penukilan riwayat). Di antaranya dengan menerangkan hujjah kepadanya melalui dalil yang diyakininya karena hal ini lebih dekat untuk tercapainya tujuan.”

Sehingga seorang da’i yang berhadapan dengan golongan ini, harus siap berdebat dan mematahkan argumentasinya sesuai dengan syubhat yang ada pada mad’u tersebut.

Syaikh Allamah Ibnu Baz rahimahullah mengtakan:

“Maka apabila mad’u menyimpan syubhat, debatlah dia dengan cara yang baik, tidak bersikap keras kepadanya, tapi bersabar, tidak tergesa-gesa, dan tidak menghardiknya. Namun berupaya keras menyingkap syubhat itu serta menjelaskan dalil-dalil yang ada dengan cara yang baik.”

Dengan demikian, di antara hikmah dan bashirah seorang da’i, dia menghadapi mad’u dalam keadaan memahani tipe-tipe mad’u tersebut. Dari tipe yang bagaimana mad’u tersebut? Maka jika mad’u termasuk golongan (yang berhak diajak) dengan cara hikmah, maka diterangkan kepadanya ilmu, pengetahuan, dan sebagainya untuk mengeluarkannya dari kebodohannya. Dan apabila mad’u telah mengerti al haq tapi tidak mengamalkannya karena kelalaiannya, maka perlu diajak dengan memberikan mau’izhah dan tadzkiir (peringatan) kepadanya. Sedangkan jika dia menyimpan syubhat yang mencegahnya mengamalkan al haq atau menghalanginya untuk merasa cukup dengan al haq, maka digunakan cara debat yang baik, untuk menjelaskan kepadanya kedudukan al haq dan keburukan yang ada pada kebathilan tersebut.

Hal-hal yang sepantasnya dipahami dalam bab ini, kadang-kadang syubhat itu mendatanginya, di mana adanya larangan berdebat dalam sejumlah ayat Al Quran dan Al Hadits, sehingga ketika da’i menerangkan hakikat al haq kepada manusia, orang-orang sesat membantahnya dengan alasan berdebat. Kalimat ini benar tapi yang dituju dengannya adalah kebathilan.

Untuk membatalkan syubhat ini, perhatikan penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah tentang firman Allah:

قَالَ كَلا فَاذْهَبَا بِآيَاتِنَا إِنَّا مَعَكُمْ مُسْتَمِعُونَ

“Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan).” [Asy Syuuraa: 15]

“Bukanlah yang dimaksud dalam ayat ini menafikan hujjah dari kedua pihak sebagaimana dugaan mereka yang tidak tahu apa yang dia ucapkan. Dan (menganggap) agama ini tidak ada debat di dalamnya. Bagaimana mungkin, padahal Al Quran dari awal hingga akhirnya adalah hujjah dan bukti. Tidak mungkin ada perdebatan kecuali dengan hujjah dan membantah argumentasi lawan.”

Ibnu Baththoh rahimahullah mengatakan:

“Maka wajib seorang Muslim di majelis dan perdebatan mereka dalam masalah fiqih atau hukum meluruskan niat dengan saling menasihati serta bersikap jujur, adil, dan memang menginginkan al haq (kebenaran) yang dengan al haq itulah tegaknya langit dan bumi.”

Sungguh ucapan yang sangat tepat, apalagi di dalamnya terdapat keterangan yang jelas tentang disyariatkannya jidal (perdebatan) mengenai kebenaran dan tujuan yang lurus yaitu menampakkan kebenaran itu serta mengajak manusia kepadanya. Juga untuk membungkam kebathilan yang selalu berusaha menentang al haq dan menghalangi manusia dari jalan al haq yang membawa mereka kepada Jannah (Surga).

Di sampig itu juga, karena Al Quran seluruhnya berisi perdebatan menghadapi orang-orang yang tenggelam dalam kebathilan, menegakkan hujjah dan bukti yang nyata untuk memuaskan manusia. Adapun ayat dan hadits tentang larangan debat ini harus dipahami bahwa yang dimaksud adalah larangan dari berdebat tentang kebathilan dan kesesatan. Atau sesuatu yang tujuannya untuk menolak al haq. Tentu saja bedebat untuk menolak al haq sangat tercela, demikian pula jidal (debat) yang bertujuan untuk menentukan siapa yang menang siapa yang kalah, bukan bertujuan memberikan nasihat atau faidah.

[Dinukil dari kitab Usus Manhajus Salaf fii Da’wati Ilallah Edisi Indonesia Manhaj Dakwah Salafiyyah, Penulis Asy Syaikh Fawwaz bin Hulayil bin Rabah As Suhaimi, Penerbit Pustaka Al Haura, hal 214-218]

Link Sumber: http://sunniy.wordpress.com/2012/04/05/wasilah-dan-uslub-metode-manhaj-salaf-dalam-berdakwah-bagian-2/

Ulasan