(Bhgn. 1) Wasilah dan Uslub (Metode) Manhaj Dakwah Salafiyyah – USLUB AL HIKMAH


oleh Asy-Syaikh Fawwaz bin Hulayil bin Rabah As-Suhaimi hafidzahullah

Pengertian hikmah secara bahasa dan istilah

Kata al-hikmah kadang dimutlakkan kepada pengertian ilmu dan pemahaman (fiqh). termasuk apa yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wata’ala:

وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا

“Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak” [Maryam: 12]



Orang-orang arab mengatkan:

“Hakamtu, Ahkamtu, dan Hakkamtu sama maknanya dengan mana’tu dan radadtu (menolak, mencegah). Dari pengertian ini dikatakanlah orang yang memutuskan perkara di antara manusia sebagai hakim.”  [Tahdzibul Lughah (4/110-111)]

Kadang juga dimutlakkan dengan makna adil. Dikatakan juga: Ahkamul Amru yang artinya Atqanah (mengokohkannya), dan al hakiim artinya al mutqin lil umur (kuat dalam mengurus suatu perkara).
Sebetulnya tidak ada perbedaan pada masing-masing makna ini. Semuanya menuju pada satu titik persoalan yang sama. karena adanya ilmu dan fiqih dalam masalah agama akan mencegah pemiliknya dari hal-hal yang menyimpang dari agama dan muruah (harga diri). Kedua hal ini akan mendorong pemiliknya untuk kokoh dalam menghadapi suatu persoalan. jadi, tidak ada yang bertentangan dalam makna-makna ini.

Makna hikmah secara istilah dan siapa yang berhak dengan wasilah ini

Dasar dari pembahasan ini ialah firman Allah Subahanhu wata’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [An Nahl: 125]

Dan firman Allah Subahanhu wata’ala:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak.” [Al Baqarah: 269]

Dalam tafsirnya, para ulama menerangkan pengertian kalimat ini sebagai berikut:

“Arti hikmah di sini ialah memahami Al Quran; nasikh mansukh-nya, muhkam dan mutasyabih-nya, muqaddam dan muakhkhar-nya, halal dan haram-nya, serta tamtsil-tamtsil-nya.”

Imam Mujahid menerangkan bahwa arti hikmah dalam ayat ini ialah tepat dalam berbicara. Dari Ibnu mas’ud Radhiallahu’anhu beliau mengatakan hikmah ialah Al Quran dan pemahaman. Adapula yang mengatakan hanya pemahamanan. Ada yang mengatakan hikmah itu ialah As Sunnah, dan ada yang mengatakan akal.

Imam At thabari mengatakan:

“Firman Allah bil hikmah (dengan hikmah) artinya ialah dengan wahyu Allah yang diwahyukan-Nya kepadamu (hai Muhammad) serta kitab-Nya yang diturunkan-Nya kepadamu.”

Berdasarkan hal ini, maka hikmah yang dimaksud dalam pembahasan ini ialah sebagaimana keterangan yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

“Adapun hikmah dalam Al Quran artinya ialah pemahaman terhadap al haq (kebenaran), berbicara dan mengamalkannya. Maka hati yang empunyai pemahaman dan niat atau tujuan, diajak dengan hikmah.”

Di dalam uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini terdapat keterangan tentang pengertian hikmah dan siapa yang berhak dihadapi dengan uslub hikmah ini. Dan siapa yang membutuhkan keterangan tentang al haq, diajak dengan beberapa pengentar yang benar agar memudahkan memahami dan mengikuti al haq tersebut.

Berkaitan dengan pemgertian hikmah ini, Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin baz mengatakan:

“yang dimaksud dengan hikmah di sini ialah dalil-dalil yang jelas dan diakui yang dapat menunjukkan dan membantah kebathilan.” 

Menurut beliau juga:

“hikmah itu ialah pendapat yang jelas dan tepat sesuai dengan al haq dari ayat Al Quran dan hadits-hadits.”

Jadi, hikmah adalah menerangkan al haq kepada orang yang jahil sehingga hal ini tertanam dalam dirinya dan menjadi manhajnya dalam setiap ucapan dan perbuatannya.

Ditegakan pula oleh Syaikh Al Allamah Shalih Al Fauzan ketika menerangkan perihal mad’u (obyek dakwah):

“Di mana dia adalah orang yang jahil terhadap al haq, dan jika diterangkan kepadanya tentu dia akan menerimanya. Maka mad’u yang seperti ini keadannya diajak dengan cara yang penuh hikmah.”

Jadi jelaslah bagi siapapun yang memperhatikan keterangan para ulama dalam masalah ini akan melihat bahwa hikmah itu dibangun di atas pemahaman terhadap al haq, mendakwahkannya, dan menerangkan serta menjelasannya apa yang Allah Ta’ala perintahkan kepadanya. Ini tidak berlaku kecuali bagi orang-orang yang jahil (sama sekali tidak mengerti) tentang kebenaran. Maka dia diajak untuk memahami dengan hikmah sehingga dapat menerima al haq tersebut.

Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan tentang orang-orang yang berhak diajak dengan cara hikmah ini mengatakan:

“yaitu hati yang telah tunduk kepada Rabbnya dan taat kepada perintah-Nya, tidak ada lagi tersisa sikap menentang dan menolak perintah dan semua yang diberitakan-Nya.”


Kesimpulan

Hikmah itu menghimpun seluruh uslub dakwah, dalam hal ini nasihat, perdebatan, kekuatan hujjah, membantah pengakuan lawan, istidlal, dan lain-lain. Karena maknanya yang lengkap mencakup berbagai disiplin ilmu. Dari sinilah sesungguhnya sifat para nabi Shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim. Sebab mereka menggunakan semua uslub dakwah yang Allah Subahanhu wata’ala perintahkan.
Berdasarkan hal ini, maka hikmah itu ialah pemahaman terhadap apa yang datang dari nabi Shallallahu’alaihi wasallam, baik Al Quran dan As Sunnah serta hal-hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu syari’at. Maka dakwah dengan hikmah melalui pintu-pintu yang terkait padanya mencukupi seorang da’i dari apapun selain keduanya. Karena syari’at Islam sama sekali tidak menyisakan perkara apapun, besar maupun kecil melainkan telah diterangkan dengan sejalas-jelasnya.

Ada makna lain dari hikmah ini yang berkaitan dengan makna secara bahasa, yaitu apa yang diterangkan Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

“Jadi, hikmah itu ialah melakukan suatu perbuatan yang sepantasnya menurut aturannya dan pada waktu yang tepat.”

Inilah keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah ang merupakan inti dari itqan (kekokohan) dan ijadah (ketepatan) yang merupakan hikmah itu sendiri dan pengertiannya. Sebab, hikmah itu kadang disebutkan secara mutlak kepada makna itqan dan ijadah suatu perkara.

Hikmah menuntut seorang da’i untuk memperhatikan kedudukan dan keadaan setiap manusia. Hingga dia dapat menggunakan uslub yang sesuai dengan keadaan dan kedudukannya. Tidak semua orang mempunyai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang sama. Juga dalam hal kelembutan dan kekasaran. Bahkan juga sikap tawadhu terhadap al haq (mudah menerima kebenaran).

Maka hendaklah dia menggauli setiap orang sesuai dengan keadaan orang tersebut, agar lebh mudah diterima dan diikuti. Sesungguhnya inilah contoh dakwah manusia mengajak manusia kembali kepada Allah dengan hikmah.

Oleh karena itu wajib ataa setiap da’i berbuat dengan satu kepastian (kokoh) dalam urusannya dan dakwahnya serta memberikan setiap orang haknya yang sesuai bagi masing-masing mereka.
Landasan jalan hikmah itu ialah Al Quran dan As Sunnah, yang marah ketika datang kepadanya seseorang yang berkata, “Saya terlambat shalat Shubuh karena si Fulan memanjangkan (bacaan) sholatnya terhadap kami.” Beliau marah dengan kemarahan yang belum pernah terjadi sebelum itu dan berkata, “Hai manusia, sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang membuat lari manusia dari agama.”

Dan orang-orang yang betul-betul berdiri pada posisi ini (berdakwah dengan hikmah) ialah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sendiri, di mana Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami radhiallahu’anhu ketika kaum Muslimin menoleh kepadanya dan mengingkari doanya terhadap orang yang bersin di dalam sholat, Mu’awiyah berkata:

“Ibu bapakku tebusan beliau. Saya belum pernah melihat pendidik sebelum beliau atau sesudahnya yang paling baik didikannya dibandingkan beliau. Demi Allah, beliau tidak pernah menghardikku, memukulku, atau mencercaku.” [HR. Muslim Kitab Al Masajid]

Kesalahan besar adalah ketika memahami makna hikmah ini tidak menurut pemahaman yang benar. Yaitu dengan memperlebar lingkup hikmah itu sehingga sikap kasar yang ditampilkan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada Ahlul Bid’ah dianggap menafikan (mengurangi, meruntuhkan) hikmah. Oleh karena itu perlu dipahami makna hikmah ini dengan pemahaman yang jauh dari sikap ifrath (ekstrim) dan tafrith (meremehkan), karena memang sangat dibutuhkan adanya sikap seimbang (adil) dalam permasalahan ini.

Sebagaimana sikap lembut itu dibutuhkan, maka demikian pula, pada suatu ketika, tatkala kemungkaran tidak bisa dirubah kecuali dengan sikap keras, maka tidak apa-apa menggunakannya, meskipun yang dihadapi adalah kaum Muslimin. Bukankah sudah jelas bahwa Allah Subhanahu wata’ala mengijinkan berperang untuk mengatasi hal itu, dan tidak ada lagi sikap keras yang lebih hebat darpada peperangan. Allah berfirman:

فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ

“Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” [Al Hujuraat: 9]

Kadang-kadang seorang Muslim sangat hebat pengingkarannya terhadap (kemungkaran) saudaranya diandingkan dengan musuhnya. Lihatlah bagaimana Musa Alaihis salam bersikap lembut terhadap Fir’aun, dan tegas terhadap saudaranya Harun Alaihis salam sampai kejadian yang Allah terangkan dalam firman-Nya:

وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ

“dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya.” [Al A’raaf: 150]

Perhatikan sikap tersebut, yang juga telah diuraikan dari sebagian nabi Shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim, bagaimana perbedaan antara sikap keras dan tegas dengan kelembutan sesuai dengan tuntunan hikmah dalam berdakwah. pada satu keadaan seorang da’i dituntut untuk lemah lembut, ketika melihat kelembutan itu bermanfaat bagi mad’u. Pada keadaan lain, dia berdakwah dengan keras dan tegas ketika melihat hal itu lebih sesuai. Maka hikmah berperan menggiring pemiliknya untuk senantiasa bersikap adil. Tidak ekstrim sehingga membuat lari manusia dari dakwah, dan tidak meremehkan sehingga bermudah-mudahan atau menggampangkan.

Demikianlah perjalanan salaful ummah dalam bab ini. Di mana mereka senantiasa berada di tengah dan sikap adil dalam menjelaskan dan mentahdzir. Mereka punya garis batas yang tegas antara da’i yang mengajak kepada bid’ah dan yang bukan da’i. Atau antara orang yang jahil dengan orang yang menentang. Masing-masing jenis manusia ini dihadapi dengan cara khusus yang sesuai.

Mereka juga memisahkan antara orang yang dikenal mempunya suatu kebid’ahan dengan orang yang mempunyai pemahaman keliru dalam satu masalah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. terhadap dua keadaan ini, perlu dijelaskan kesalahan masing-masing. Akan tetapi umat harus dijauhkan dari orang yang pertama. Sebaliknya dengan orang yang dikenal melalui kedudukannya yang tinggi, ilmu, keutamaan, dan sikap ittiba’nya kepada As Sunnah, maka disikapi dengan tawaqquf terhadap kesalahannya. Karena al haq (kebenaran) itu lebih berhak untuk diikuti, namun tidak boleh disikapi seperti terhadap orang yang pertama.

Penjelasan tentang sikap adil di kalangan ulama salaf dan yang mengikuti jalan mereka, kita lihat dari pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang di dalamnya terdapat sikap keras yang syar’i dan juga kelembutan yang sesuai dengan syari’at pada tempatnya masing-masing. Kata beliau dari kalangan Ahlul Bid’ah:

“Adapun membunuh da’i yang mengajak kepada bid’ah, bisa jadi dia dibunuh untuk mencegah bahaya yang ditimbulkannya terhdap kaum Muslimin. Sebagaimana dibunuhnya orang yang memerangi meskipun dia bukan seorang yang kafir.”

Jika kita membaca uraian ini dengan sikap keras yang syar’i padanya, yang ternyata didorong beberapa alasan tertentu. Perhatikan keterangan beliau yang lain tentang kelembutan, di mana beliau mengatakan:

“Kebanyakan mujtahid salaf dan khalaf pernah mengucapkan bahkan melakukan kebid’ahan dalam keadaan tidak mengetahui bahwa itu bid’ah. Mungkn karena hadits-hadts lemah yang dikiranya shahih, atau ayat-ayat yang dipahaminya bukan sebagaimana yang diaksud oleh ayat itu, atau karena mengikuti satu pendapat sedangkan dalam masalah tersebut ada nash (dalil), tetapi belum sampai kepadanya.”

Maka hendaklah seorang da’i memperhatikan kedua pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini, yang di dalamnya terkandung sikap adil, seimbang, dan hikmah untuk menjalankan dakwahnya. Tidalah sikap ini keluar dari beliau sebagai suatu kebathilan dan bertentangan. Bahkan itulah sesungguhnya inti hikmah, keadilan dan langkah yang seirama dengan Al Quran dan As Sunnah.
Apa yang dibutuhkan sebagian mad’u (obyek dakwah), boleh jadi tidak dibutuhkan oleh yang lain. Masing-masing mempunyai bagiannya, dengan tetap mengharapkan hidayah bagi manusia kepada kebenaran dan mendekatkan mereka kepadanya.

Berdasarkan hal ini, wajib bagi para penuntut ilmu Salafiyun agar berdakwah kepada kebenaran dengan uslub yang syar’i tanpa ifrath dan tafrith sehingga kemaslahatan betul-betul terwujud dalam dakwahnya, yaitu memberi manfaat kepada mad’u dan hidayah kepada mereka.

Perhatikan pula uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut ini:

“Kadang seseorang atau satu kelompok berbuat dosa, sedangkan yang lain diam (tidak perduli), tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, sehingga menjadi dosa bagi mereka. Adapula yang mengingkri tapi dengan cara yang justru dilarang, inipun menjadi dosa bagi mereka, akhirnya timbul perpecahan, perselisihan, dan keburukan….. Barangsiapa yang memperhatikan fitnah yang terjadi tentu melihat sebabnya adalah tindakan tersebut.”

Maka jika seorang da’i menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salafus shalih dalam bab ini atau yang lainnya, niscaya dia memperoleh kebaikan bagi dirinya sendiri pertama kali, tetap istiqamah di jalan Rabbnya, sehingga pantas untuk diterima dakwah dan bimbingannya kepada manusia menuju al haq. Dan sangat layak baginya untuk menyampaikan agama Allah ini, menegakkan hujjah terhadap manusia, dan menerangkan jalan kebaikan kepada mereka agar mengikutinya serta jalan-jalan kesesatan dan kejahatan agar mereka menjauhinya.

[Dinukil dari kitab Usus Manhajus Salaf fii Da’wati Ilallah Edisi Indonesia Manhaj Dakwah Salafiyyah, Penulis Asy Syaikh Fawwaz bin Hulayil bin Rabah As Suhaimi, Penerbit Pustaka Al Haura, hal 205-212]

Link Sumber: http://sunniy.wordpress.com/2012/04/03/wasilah-dan-uslub-metode-manhaj-salaf-dalam-berdakwah-bagian-1/#more-938

Ulasan