[FATWA] Penegakan Hujjah bagi Ahlul Bid’ah

Oleh Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah

Kaitannya dengan pelaku bid’ah, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhali ketika ditanya,

“Wahai syaikh kami semoga Allah menjagamu, di sana terdapat beberapa pertanyaan yang beredar di kalangan para penuntut ilmu. Apakah disyaratkan di dalam kita membid’ahkan orang yang terjerumus ke dalam atau kebid’ahan atau bahkan banyak kebid’ahan, apakah disyaratkan iqomatul hujjah?”

Jawab
Yang masyhur di kalangan ahlus sunnah, bahwa orang yang terjerumus ke dalam amalan kufur, tidak dikafirkan sampai ditegakkan hujjah terlebih dahulu.

Adapun orang yang terjerumus ke dalam kebid’ahan ada beberapa macam:

[Pertama]

Yang ia dari golongan ahlul bid’ah seperti Rafidhah, Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Shufiyah, Quburiyah, Murji’ah dan siapa saja yang diikutsertakan bersama mereka seperti Ikhwanul Muslim, Jama’ah Tabligh dan yang semisal mereka, maka ulama salaf tidak memberikan syarat harus iqomatul hujjah dulu (karena sudah jelas kebid’ahannya). Rafidhah adalah mubtadi’ (ahlul bid’ah), demikian pula Khawarij adalah mubtadi’, sama saja apakah ditegakkan hujjah terlebih dahulu atau tidak.

[Kedua]

Siapa saja yang termasuk dari ahlus sunnah tapi terjerumus ke dalam kebid’ahan yang sangat jelas. Seperti beranggapan bahwa al Quran adalah makhluk, atau juga mengatakan bahwa lafadz Al Quran itu makhluk, atau berbicara tentang takdir (menafikan takdir atau menisbatkan secara berlebihan), atau mengikuti pendapatnya khawarij atau semisalnya, inipun seperti jenis kedua, kita bid’ahkan, dan seperti itulah perbuatan pendapat Salaf.

Contohnya apa yang telah datang dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang Qadariyah maka ia menjawab:

“Kalau kamu ketemu mereka katakan kepada mereka bahwa aku (Ibnu Umar) telah berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku.” (HR. Muslim)



[Ketiga]

Siapa saja dari kalangan Ahlus Sunnah bahkan dikenal orang ini berusaha untuk mencari al haq (semangatnya di dalam mencari kebenaran sudah dikenal di kalangan ahlus sunnah) tapi dia terjemerus ke dalam kebid’ahan yang tersamar, maka kalau dia sudah meninggal tidak boleh kita bid’ahkan.

Seperti syaikhain, hafizhain, al Imam Ibnu Hajar al Asqalani dan al Imam an Nawawi, yang keduanya ini terjerumus ke dalam pendapat yang bid’ah. Tetapi kalau orangnya masih hidup hendaknya dinasihati, diterangkan kepadanya al haq dan jangan tergesa-gesa membid’ahkan dia. Kalau memang dia bersikukuh di atas kebid’ahan baru dibid’ahkan.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

“Betapa banyak para mujtahid dari kalangan salaf ataupun khalaf yang mereka telah mengatakan satu perkataan atau telah melakukan satu perbuatan yang itu adalah bid’ah dalam keadaan ia tidak tahu kalau itu adalah bid’ah. Di antara sebabnya mereka terjerumus mungkin karena mereka berpegang kepada hadits-hadits dhaif yang menurut anggapan mereka shahih. Atau mungkin ayat-ayat yang mereka pahami tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh ayat itu. Atau mungkin karena pendapat yang mereka ambil dalam satu masalah padahal di sana terdapat nash (dalil) yang belum sampai kepada orang tersebut.” [Maarijul Wushul hal. 43]

Kalau seseorang itu telah bertakwa kepada Allah Ta’ala semampu dia, maka tergelincir ke dalam kesalahan seperti ini masuk ke dalam firman Allah Ta’ala,

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (al Baqarah: 286).

Walau bagaimanapun tidak boleh memutlakkan harus iqomatul hujjah terlebih dahulu dalam membid’ahkan seseorang atau menafikannya secara mutlak juga. Perkaranya seperti yang telah aku jelaskan.

Demikian penjelasan dari Syaikh al Allamah Rabi’ bin Hadi dalam permasalahan tabdi’ (membid’ahkan seseorang). Wallahu a’lam.

[Dari Transkrip rekaman kajian rutin kitab Syarhus Sunnah lil Imam al Barbahari yang dibawakan oleh al Ustadz Abdullah Sya'roni]

Sumber: http://sunniy.wordpress.com/2009/10/17/penegakan-hujjah-bagi-ahlul-bidah/

Ulasan