Ihya ut Turats Menyimpang – Jarh Mufassar atasnya

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

Pada edisi yang lalu, kita telah membahas tentang keterkaitan yang erat antara Abdurrahman Abdul Khaliq dengan Ihya At Turats-nya. Nampak dari hari ke hari semakin banyak penyimpangan demi penyimpangannya dari manhaj Salafus Shaleh yang ditempuh oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah rahimahumullah Ta’ala. Tentunya itu berarti akan semakin memperjelas perbedaan antara yang haq dan yang batil, yang Sunnah dan yang bid’ah.

Maka pada edisi kali ini, kita akan melihat dua pendapat dari kalangan para ulama -antara yang memberi rekomendasi terhadap organisasi Ihya At Turats dan yang memberi peringatan darinya-, bahkan diantara ulama menuduhnya sebagai organisasi yang dibangun di atas hizbiyyah dan fanatisme kelompok. Lalu kita bisa melihat apakah diantara kedua pendapat tersebut terlihat perbedaan secara hakiki?

Lalu manakah dari kedua pendapat tersebut yang mendekati kebenaran,
kemudian menjadikannya sebagai pegangan.?

Dan apakah dalam permasalahan ini bisa diterapkan kaidah “Al-Jarh al-Mufassar Muqoddam ‘ala at-Ta’dil” (Cercaan yang rinci dan dijabarkan lebih didahulukan daripada pujian). Para pembaca yang budiman, sebelum kita memasuki inti pembahasan,

Penulis hanya sekedar mengingatkan bagi mereka yang pernah membaca makalah Al-Akh Abdullah Taslim Al-Buthoni –semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua- dalam salah satu makalahnya yang berjudul “Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah”, ketika ia ditanya tentang “Konsep al-Jarh al-Mufassar Muqoddam ala at-Ta`dil, yang biasa diterapkan sekelompok kaum dalam konflik beda ijtihad ulama dalam kasus seperti Ihya Turots ini?”.

Al Akh Abdullah Taslim juga ditanya tentang “Apakah Syaikh Rabi’ bin Hadi hafidzahullah termasuk deretan kibarul ulama senior atau paling senior di Saudi”.

Namun sayang sekali, karena pertanyaan tersebut justru berusaha dibiaskan, dipalingkan ke permasalahan lain dan tidak mengkerucut dalam menjawab inti permasalahan. Bahkan yang tampak dari jawaban tersebut, bahwa sangat terkesan pihak yang menjarh (mengkritik) organisasi ini tidak membawa dalil dan hujjah yang kuat, sehingga jarh para ulama terhadapnya menjadi mentah.

Bahkan dalam jawaban saudara Abdullah nampak terkesan bahwa Syaikh Rabi’ tidak termasuk ulama paling senior di Saudi, juga nampak isyarat [1] bahwa beliau tergolong ke dalam ulama yang muta’annit/mutasyaddid (terkenal keras dan mudah mengkritik perawi dengan sebab-sebab yang menurut para imam lainnya tidak mempengaruhi kedudukan seorang perawi), tanpa menyebutkan secara rinci tentang sebab para ulama mencerca dan mentahdzir dari organisasi ini.

Nah untuk itulah disini akan kami uraikan secara ringkas cara memahami kaidah tersebut dengan tepat dan benar, lantas setelah itu menerapkannya ke dalam permasalahan yang diperselisihkan ini. Tentang kaidah “Al-jarhu al-mufassar muqoddam ‘alaa at-ta’diil”, maka hukum asalnya bahwa kaidah ini merupakan kaidah yang telah diamalkan oleh mayoritas muhadditsin ,terkecuali apabila ada tanda atau qorinah yang menguatkan pendapat yang menta’dil/memuji.


Doktor Abdul Aziz bin Abdul Lathif dalam kitabnya: “Dhawabit al-Jarh wat-Ta’dil” (hal:65), mengatakan:

“Jika bertentangan antara cercaan yang dijabarkan dengan pujian yang berasal dari dua imam atau lebih, maka madzhab jumhur lebih mendahulukan cercaan daripada pujian secara mutlak. Sama saja, apakah yang memuji lebih banyak dari yang mencerca atau lebih kurang atau jumlahnya sama.

Yang demikian itu disebabkan karena yang mencerca memiliki tambahan ilmu tentang keadaan perawi yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh yang memuji. Maka yang mencerca membenarkan ucapan yang memuji dalam hal keadaannya yang nampak secara dzhahir dan ia menjelaskan keadaan yang tersembunyi dari perawi tersebut (yang tidak diketahui yang memuji).”

Bagi siapa yang ingin melihat pembahasan tentang masalah ini, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:
  1. Al-Kifayah fii ‘Ilmi ar-Riwayah bab Al-Qoulu fil Jarhi wat-Ta’diil idza Ijtama’a, tulisan Al-Khathib Al-Baghdadi
  2. Qowa’id fii ‘Uluum al-Hadits, tulisan Al-Tahawuni 174-197
  3. Taudhihul Afkar, jilid 2:133-167
  4. ‘Uluum al-Hadits Ibnu As-Shalaah, bersama At-Taqyiid wal-Iidhaah
  5. Al-’Iraqi:119-120 dan lain-lain
Jika hal ini telah jelas, maka kami pun akhirnya memasuki penjelasan dari masing-masing pendapat para ulama yang “terlihat” pro-kontra dalam menyikapi “Organisasi Ihya At-turats” yang berpusat di Kuwait.



Pendapat yang memuji Ihya At Turats

Para ulama yang memberi rekomendasi terhadap organisasi ini, sebagaimana yang disebutkan oleh al akh Firanda dengan menukil dari kitab “Syahâdât Muhimmah li-Ulamâ al-Ummah” yang disebarkan oleh organisasi Ihya At Turats sendiri dalam situs mereka adalah:
  1. Syaikh Abdul Aziz bin Bâz
  2. Muhammad bin Shâleh Al-Utsaimîn
  3. Abdul Aziz bin Abdullah Aalus Syaikh
  4. Shâleh bin Abdul Azîz âlus Syaikh
  5. Shaleh bin Abdullah bin Humaid
  6. Abdullah bin Mani’
  7. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah aalu Fauzan
  8. Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi
  9. Ali bin Muhammad Nashir Faqihi
  10. Bakr bin Abdullah Abu Zaid
  11. Muhammad bin Khalifah At-Tamimi
  12. Abdullah Ash-Shaleh Al-Utsaimin
  13. Doktor Muhammad Al-Maghrawi
  14. Muhammad Shafwat Nuruddin dan
  15. Abdullah bin Shaleh Al-Ubailan.
Demikian pula yang tidak terdapat dalam kitab tersebut di atas dari pendapat para masyaikh yang merekomendasi organisasi ini seperti Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad dan Ibrahim Ar-Ruhaili, hafidzhahumullah Ta’ala.

Adapun pujian Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, maka dalam “Syahadat” tersebut disebutkan 7 buah rekomendasi dari Syaikh rahimahullah dengan rincian sebagai berikut:

Tazkiyah pertama:
Pujian beliau terhadap bangunan baru milik organisasi ini.

Tazkiyah kedua:
Pujian terhadap manhaj organisasi yang tertulis (manhaj tertulis, red) dan disodorkan kepada beliau. Dalam manhaj “tertulis” organisasi tersebut menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Berdakwah dengan Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dengan manhaj Salafus Shalih
  2. Berdakwah menuju peribadatan kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya dan memperbaiki amalan
  3. Beramal dalam ber-ta’awun bersama kaum muslimin di atas kebaikan dan taqwa dan salam bertatap muka dengan mereka di atas kebaikan dan berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam
  4. Menyebarkan kebaikan, keutamaan, keadilandan perbuatan baik
  5. Membantu orang-orang yang membutuhkan, fakir miskin, menjamin anak-anak yatim dan membantu orang yang mengalami musibah
  6. Membangun masjid, ma’had, pusat-pusat Islam,yayasan dakwah dan kesehatan
  7. Menghidupkan warisan Islam melalui penyebaran kitab-kitab Salafus shalih
  8. Memperingatkan kaum muslimin dari berbagai bid’ah dan perkara –perkara baru dalam agama
  9. Mengarahkan orang-orang yang baik dan hendak berbuat kebaikan agar meletakkan proyek dan sumbangan mereka di tempat yang tepat
Demikianlah secara ringkas “Manhaj Dakwah” yang ditulis oleh organisasi Ihya At-Turats, lalu disampaikan kepada para masyaikh, termasuk kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah di masa hidup beliau.

Tazkiyah ketiga:
Pujian terhadap organisasi ini berdasarkan berita yang disampaikan kepada beliau bahwa organisasi Ihya At-Turats bergerak dalam:
  • mewujudkan keutamaan warisan Islam
  • mengumpulkan manuskrip dan kitab-kitab Islam
  • memberi semangat kepada para ulama dan para peneliti yang melakukan dirasah Islamiyah, lalu menyebarkan penelitian dan pembahasan mereka
  • memurnikan warisan Islam dari berbagai bid’ah, khurafat yang merusak keindahan Islam
  • nembuat kotak untuk zakat dan mengarahkannya dengan cara-cara yang disyari’atkan
Tazkiyah ke 4,5 dan ke-6, menjelaskan tentang pujian beliau terhadap “Maktabah Thalibul Ilmi” milik Ihya At Turats yang menyebarkan beberapa buku-buku para ulama yang bermanfaat

Tazkiyah ke-7: 
berisi tentang kesediaan beliau menghadiri acara pembukaan sekretariat organisasi Ihya At Turats di London dan di berbagai tempat.

Adapun tazkiyah Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah, terdapat 2 tazkiyah yang disebutkan sebagai berikut:
  • Tazkiyah pertama: Pujian beliau terhadap “manhaj tertulis” yang berjudul “Masiratul Khair” milik organisasi Ihya At Turats, yang isinya sebagaimana yang telah tertera disebutkan diatas (lihat tazkiyah Syaikh Bin Baaz no:2)
  • Tazkiyah kedua: Pujian beliau terhadap kitab-kitab thalibul ilmi yang disebarkan oleh Ihya At Turats
Adapun tazkiyah dari Syaikh Abdul Aziz Alusy Syaikh hafidzhahullah, berisi pujian terhadap maktabah Thalibul Ilmi yang disebarkan oleh organisasi Ihya At Turats.

Sementara tazkiyah dari Syaikh Shalih Alus Syaikh hafidzhahullah, beliau memuji terhadap sebagian amalan dan kegiatannya, namun beliau tidak merinci apa sajakah “sebagian amalan dan kegiatan tersebut”.

Lantas tazkiyah dari Shalih bin Abdullah bin Humaid, beliau memuji proyek-proyek dan kegiatan dakwah dan yang bersifat ilmiah.

Tazkiyah dari Syaikh Abdullah bin Mani’, berisi pujian terhadap pameran yang didalamnya diperlihatkan berbagai kegiatan organisasi ini dalam dakwah dan ta’lim-nya.

Serta tazkiyah dari Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, berisi pujian terhadap “manhaj tertulis” dari organisasi ini.

Adapun tazkiyah dari Syaikh Nashir Al-Faqihi, berisi pujian terhadap banyak dari proyek perencanaan Ihya At Turats.

Adapun tazkiyah dari Bakar Abu Zaid, berisi pujian terhadap maktabah Thalibul Ilmi yang disebarkan oleh organisasi Ihya At Turats.

Dan masih ada beberapa fatwa lagi yang tercantum di dalam buku “Syahadah Muhimmah” tersebut, yang tidak perlu untuk kami cantumkan di sini, karena Al-Akh Firanda juga tidak menyebutkannya. Sehingga hanya cukup dengan menyebut kalimat: “dan lain-lain”, karena mungkin pada sebagian masyayikh yang disebutkan masih menjadi pembicaraan di kalangan para ulama.[2] Demikianlah ringkasan dari fatwa para ulama yang disebutkan mentazkiyah organisasi tersebut.


- - - -


Nah, sekarang mari kita melihat dengan “mata hati yang jernih”, jauh dari sifat fanatik buta dan usaha untuk mencari dalil yang dipaksakan. Tentulah hal ini perlu dilakukan agar dia segera mengetahui, bahwa tidak satupun dari fatwa tersebut di atas yang menyentuh akar permasalahan yang disebutkan oleh para ulama yang mencerca dan mengkritik organisasi tersebut. Sementara berbagai kegiatan yang tersebut di atas merupakan hal yang tidak tersamarkan bagi para ulama yang mencerca Ihya Turats, mereka benar-benar mengetahui kegiatan yang “nampak” dari organisasi tersebut.

Namun sekali lagi, para ulama mencerca Ihya Turats disebabkan karena mereka mengetahui lebih banyak hal yang tersembunyi di dalam organisasi tersebut, yang tidak dinampakkan oleh organisasi ini disaat mereka menulis tentang manhajnya atau disaat mendapatkan kunjungan para masyayikh yang berasal dari luar negeri. Sehingga para ulama yang mentazkiyah –rahimahumullah- menyangka bahwa mereka tetap berada di atas manhaj “salafi”.

Cobalah para pembaca kembali memperhatikan ucapan diatas:

“Maka yang mencerca membenarkan ucapan yang memuji dalam hal keadaannya yang nampak secara dzhahir dan ia menjelaskan keadaan yang tersembunyi dari perawi tersebut (yang tidak diketahui oleh yang memuji).”lalu perhatikan seluruh fatwa para ulama yang memuji sebagaimana yang kami nukilkan tersebut di atas, maka pada hakikatnya tidak terjadi pertentangan diantara keduanya, namun yang ada adalah bahwa ulama tersebut di atas menjawab “sesuai dengan pertanyaan yang diajukan kepada mereka”.

Maka para ulama kitapun menjawab sesuai kadar pertanyaan yang diberikan kepada mereka. Sementara para ulama yang mencela organisasi tersebut menjelaskan perkara-perkara yang terselubung yang terjadi didalamnya, yang tidak diketahui banyak kalangan, termasuk sebagian para ulama tersebut –rahimahumullah-.

Jika ada yang mengatakan:

“Bagaimana mungkin para ulama tersebut tidak mengetahui keadaan organisasi tersebut, padahal bukankah ini termasuk organisasi yang “sangat terkenal kiprahnya dan diketahui oleh banyak orang”?

Jawabannya adalah silahkan kembali membaca pembahasan ini di edisi kelima yang berjudul “Ihya At Turats, boneka Abdurrahman Abdul Khaliq”.

Jika ada yang berkata:

“Bukankah Syaikh Bin Baaz rahimahullah mengetahui keadaan Abdurrahman Abdul Khaliq, sehingga beliau mengeluarkan fatwa nasehat terhadapnya, padahal organisasi ini adalah milik Abdurrahman Abdul Khaliq dan yang bersamanya ?”

Maka jawabannya adalah:

Memang benar Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala telah menasehati Abdurrahman Abdul Khaliq, namun yang menjadi persoalan adalah:
  • Apakah Syaikh Bin Baaz mengetahui bahwa organisasi tersebut milik Abdurrahman Abdul Khaliq dan orang-orang yang bersamanya dalam sepemikiran?
  • Apakah Syaikh Bin Baaz mengetahui bahwa ternyata Abdurrahman Abdul Khaliq tidak mengindahkan nasehat para ulama, termasuk nasehat beliau?
  • Apakah Syaikh Bin Baaz mengetahui bahwa ternyata organisasi ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran sesat Abdurrahman Abdul Khaliq?

Maka pertanyaan ini harus dijawab dengan bukti konkrit dan jelas.

Bila tidak, maka kembali kepada hukum asal, bahwa Syaikh Bin Baaz menjawab sesuai dengan pertanyaan yang disampaikan kepada beliau. Dan kesalahan terjadi pada mereka yang bertanya, sebab mereka tidak menjelaskan secara gamblang dan rinci tentang organisasi ini. Namun yang disampaikan kepada beliau dan juga kepada yang lain adalah sisi positifnya saja, tanpa menjelaskan sisi negatif dari penyimpangan yang terjadi didalamnya.

Tentunya kita mengetahui bahwa pertanyaan sangat memberikan pengaruh terhadap sebuah fatwa dan sebuah fatwa dapat berubah disebabkan karena perubahan penggambaran (tashawwur) yang disampaikan kepada seorang alim.

Sebagai contoh:

Bila seseorang bertanya: “Ada seseorang meninggal dan dia memiliki ahli waris: seorang ibu, saudara laki-laki kandung dan seorang isteri. Berapakah bagian yang didapatkan seorang isteri?”, tentu jawabannya adalah: “seperempat dari harta yang ditinggal.”

Bandingkan dengan pertanyaan berikut:

“Ada seseorang meninggal dan dia memiliki ahli waris: seorang ibu, saudara laki-laki kandung, seorang isteri, dan seorang anak laki-laki. Berapakah bagian yang didapatkan seorang isteri?”, maka dengan ada tambahan “seorang anak” menyebabkan terjadinya perubahan fatwa, sehingga seorang isteri mendapatkan bagian: “Seperdelapan dari harta yang ditinggal.”

Contoh yang lain, bila seseorang bertanya:

“Ada seorang di kampung saya yang rajin sholat dan ibadah, berpuasa, membayar zakat, suka bersedekah, berbakti kepada kedua orang tuanya dan banyak berbuat kebaikan. Apakah bisa dikatakan bahwa orang ini jahat?”, lalu bandingkan dengan pertanyaan berikut:

“Ada seorang di kampung saya yang rajin sholat dan ibadah, berpuasa, membayar zakat, suka bersedekah, berbakti kepada kedua orang tuanya dan banyak berbuat kebaikan. Tetapi dia punya kebiasaan memukul orang tanpa alasan yang jelas, mengambil harta orang dengan cara paksa dan menganjurkan manusia agar berjual beli dengan cara riba. Apakah bisa dikatakan bahwa orang ini jahat?”, tentunya dengan adanya tambahan pertanyaan tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan fatwa.

Sekali lagi, contoh lain yang mungkin lebih mendekati inti permasalahan, Jika seseorang bertanya tentang organisasi Ihya At Turats dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:

“Ada sebuah organisasi yang bernama Ihya At Turats, yang berpusat di Kuwait, dimana organisasi ini senantiasa menjadikan sandarannya berupa al-Qur’an dan As-Sunnah dan mengajak manusia kepadanya. Dan organisasi ini melakukan berbagai macam kegiatan di berbagai negara, seperti mendirikan ma’had, menggali sumur, rumah sakit, menyebarkan buku-buku Salaf, memperingatkan kaum muslimin dari berbagai bid’ah, khurafat, mendirikan pondok tahfidzh Al-Qur’an, membantu anak-anak yatim dan yang lainnya. Bagaimana menurutmu, wahai Syaikh yang mulia tentang organisasi ini?”.

Lalu bandingkan pula jika pertanyaan tersebut diformat dalam bentuk sebagai berikut:

“Ada sebuah organisasi yang bernama Ihya At Turats, yang berpusat di Kuwait dimana organisasi ini senantiasa menjadikan sandaran pijakannya berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah, senantiasa melakukan berbagai kegiatan di berbagai negara, seperti mendirikan ma’had, menggali sumur, rumah sakit, menyebarkan buku-buku Salaf, memperingatkan kaum muslimin dari berbagai bid’ah, khurafat, mendirikan pondok tahfidzh Al-Qur’an, membantu anak-anak yatim dan lain-lain.

Dan disamping itu, kami (maksudnya Ihya At Turats) juga memiliki kegiatan di bidang politik, seperti turut serta dalam parlemen dan ikut mendukung demokrasi, sehingga diantara kami sudah ada yang berhasil menjadi menteri. Dan di dalam organisasi ini kami memiliki praktik bai’at, namun kami istilahkan dengan “ikatan perjanjian/mu’ahadah” dan diantara anggota kami juga ada yang memiliki pemikiran takfir, hingga saat ini. Dan kami memiliki seorang mufti yang senantiasa membimbing kami, mufti kami tersebut bernama Abdurrahman Abdul Khaliq.

Beliau seorang yang kami kagumi, karena beliaulah yang senantiasa mengajari kami fiqhul waqi’ dan menganjurkan kami agar hidup di zaman ini hendaklah dengan ruh dan jasad, jangan seperti para masyayikh yang jasadnya hidup di zaman ini, namun ilmunya hanya bisa diterapkan di zaman yang telah lampau, karena ulama tersebut tidak mengenal fiqhul waqi’. Dan beliau membolehkan kami untuk melakukan sebagian yang haram bila memiliki tujuan yang baik, dan ia menganggap bahwa demonstrasi adalah salah satu wasilah yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam.

Yang jelas, dakwah kami memang lebih memfokus ke permasalahan politik dan tidak mementingkan masalah “tashfiyah dan tarbiyah”. Dan “dakwah salafiyyah” yang kami sebarkan di berbagai negara telah memberikan pengaruh, kami berhasil mendirikan cabang organisasi ini di Yaman dengan nama “organisasi Al-Hikmah”, dan berhasil memecah-belah murid-murid Syaikh Muqbil –rahimahullah- di Yaman.

Demikian pula diantara keberhasilan kami, kami juga berhasil memecah-belah Ahlus Sunnah di Indonesia, dengan kedatangan Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq ke sana, dan dilanjutkan dengan kedatangan Syaikh Syarif Fuadz Hazza’ yang juga memiliki andil dalam menyebarkan berbagai pemikiran Abdurrahman Abdul Khaliq di negeri tersebut,…”.

Kira-kira seperti inilah format pertanyaannya,

Dengan menjelaskan secara gamblang kegiatan organisasi tersebut, sehingga dari jawaban mereka kita dapat melihat, apakah benar perkara ini termasuk masalah ijtihadiyyah yang diperselisihkan, ataukah “perselisihan” tersebut disebabkan karena kurangnya keterangan yang disampaikan kepada para ulama yang selama ini membela mereka. Kalau format pertanyaan di atas terlalu panjang dan bertele-tele, maka silahkan membuat format yang ringkas yang dapat mewakili beberapa inti permasalahan yang dipermasalahkan oleh para ulama yang mentahdzir mereka. Lantas silakan simak dengan seksama jawaban dari ulama tersebut.



Jawaban umum atas rekomendasi para ulama tersebut

Secara umum, seorang alim salafi tidaklah ridha dengan hizbiyyah berikut segala macam bentuk hizbiyyah yang mengarah kepada berbagai manhaj hizbiyyah, yang membikin kaum muslimin berpecah-belah, seperti Al-Ikhwanul Muslimun, Jama’ah Tabligh, Hizbut Tahrir dan yang semisal mereka.

Bila hal ini telah jelas bagi kita, maka ketahuilah –semoga Allah memberi penerangan ilmu yang haq kepada kita semua- bahwa jika mereka mengetahui hakekat penyimpangan yang ada pada organisasi ini, yang bermanhaj dengan manhaj al-Ikhwanul Muslimun, memberi bai’at kepada anggotanya, walaupun dengan istilah “perjanjian” dan yang semisalnya, giat dalam kegiatan demokrasi, membolehkan demonstrasi, membolehkan melakukan sebagian perkara haram demi mencapai tujuan dan masih banyak lagi dari sekian banyak mauqif mereka yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

(Simak selengkapnya data yang dikumpulkan oleh Dr. Abu Abdillah Khalid di http://www.sahab.net/mydata/madani/altrath.zip)

Maka merupakan suatu tindakan yang – maaf – bodoh dari Al-Akh Firanda dkk, yang berhujjah dengan “masalah ijtihadiyyah” yang bisa ditolerir, dengan menutup mata –ataupun berpura-pura menutup mata- dari sekian banyak penyimpangan organisasi tersebut [3] serta tidak memperhatikan bahwa penyebab sebagian ulama yang memberi pujian pada mereka disebabkan karena kurangnya keterangan yang sampai kepada beliau sekalian tentang penyimpangannya, yang jikalau sekiranya mereka mengetahuinya secara detail sebagaimana yang telah diketahui oleh ulama yang mentahdzir mereka, tentunya para ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah tersebut berada di atas satu sikap, yaitu berlepas diri dari dakwah hizbiyyah.

Maka tidak sepantasnya berhujjah dalam perkara ini dengan “masalah khilafiyyah ijtihadiyyah , lalu berusaha menghindar dari pembahasan ilmiah yang telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk menjadikannya sebagai sandaran utama dalam beragama.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisaa:59)

Sebenarnya apa yang telah kami sebutkan dahulu pada tulisan edisi kedua yang berjudul: “Ihya ut Turats menyimpang dalam manhaj – Khilaf dan Ijtihadiyah”, telah cukup bagi seorang yang menginginkan al-haq, bahwa dalam permasalahan ini tidak sepantasnya berdalil dengan khilafiyyah yang terjadi di kalangan para ulama, sebab alasan itu hanya dibuat-buat, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

Namun apabila Al-Akh Firanda dan yang bersamanya masih belum puas juga, maka berikut ini kami tambahkan penukilan dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah:
  • Berkata Ibnu Abdil Barr:
الاختلاف ليس بحجة عند أحد علمته من فقهاء الأمة، إلا من لا بصر له، ولا معرفة عنده، ولا حجة في قوله

“Perselisihan itu bukan hujjah menurut yang aku ketahui dari para fuqaha umat ini, kecuali bagi orang yang tidak memiliki ilmu, dan tidak memiliki pengetahuan, dan tidak ada hujjah dalam ucapannya.” (Jami’ Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Bar, jilid:2,hal:115.Terbitan Daar Ibnu Al-Jauzi,cetakan ke tujuh,tahun 1427 H, tahqiq: Abul Asybal)

  • Al-Khatthabi juga berkata:
وليس الاختلاف حجة، وبيان السنة حجة على المختلفين من الأولين والآخرين

“Dan perselisihan itu bukan hujjah dan menjelaskan Sunnah merupakan hujjah atas yang berselisih baik di masa lalu maupun di belakang hari”. (A’laam al-Hadits, Al-Khatthabi:3/2092.Lihat kitab Zajr al-Mutahawin karya Syaikh Hamd Al-Utsman, hal:38)
  • Asy Syathibi rahimahullah juga berkata:
وقد زاد هذا الأمر على قدر الكفاية، حتى صار الخلاف في المسائل معدوداً في حجج الإباحة. ووقع فيما تقدم وتأخر من الزمان الاعتماد في جواز الفعل على كونه مختلفاً فيه بين أهل العلم، لا بمعنى مراعاة الخلاف، فإن له نظراً آخر، بل في غير ذلك. فربما وقع الإفتاء في المسألة بالمنع، فيقال: لم تمنع؛ والمسألة مختلف فيه؟! فيجعل الخلاف حجة في الجواز لمجرد كونها مختلفاً فيها، لا لدليل عليه يدل على صحة مذهب الجواز، ولا لتقليد من هو أولى بالتقليد من القائل بالمنع، وهو عين الخطأ على الشريعة، حيث جعل ما ليس بمعتمد معتمداً، وما ليس بحجة حجة

“Dan perkara ini telah melebihi kadar cukup, sehingga khilaf dalam berbagai permasalahan dianggap sebagai hujjah untuk menjadikan sesuatu mubah (boleh).

Dan terjadi pada zaman yang lalu dan yang belakangan adanya orang yang bersandar atas bolehnya melakukan sesuatu dengan alasan diperselisihkan di kalangan para ulama, bukan dengan cara memperhatikan permasalahan khilaf (untuk menentukan mana yang rajih), sebab ini memiliki pandangan yang lain, namun cara selain itu. Bahkan tatkala keluar fatwa dalam satu permasalahan dengan (hukum) melarang. Maka dikatakan kepadanya: “Kenapa kamu melarangnya, padahal permasalahan ini kan termasuk khilafiyyah?!”, maka diapun menjadikan khilafiyyah sebagai hujjah akan bolehnya sesuatu hanya karena perkara tersebut diperselisihkan.

Bukan karena dalil yang menunjukkan kebenaran sebuah pendapat dan bukan pula karena taqlid terhadap orang yang lebih utama untuk ditaqlid dibandingkan orang yang berpendapat melarang, maka ini kesalahan yang jelas terhadap syari’at, dimana ia menjadikan apa yang tidak menjadi sandaran sebagai sandaran dan yang bukan hujjah sebagai hujjah.” (Al-Muwafaqaat,Asy-Syathibi:4/102 )
  • Berkata pula Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah:
وليس لأحد أن يحتج بقول أحد في مسائل النزاع، وإنما الحجة: النص، والإجماع، ودليل مستنبط من ذلك تقرر مقدماته بالأدلة الشرعية، لا بأقوال بعض العلماء؛ فإن أقوال العلماء يحتج لها بالأدلة الشرعية، لا يحتج بها على الأدلة الشرعية

“Dan tidak boleh bagi seseorang berhujjah dengan ucapan seseorang dalam perkara yang diperselisihkan, sesungguhnya yang hujjah adalah: nash, dan ijma’. Dan dalil yang diperoleh dari hasil (nash tersebut), ditetapkanlah beberapa pendahuluan dengan dalil-dalil yang syar’i, bukan dengan perkataan sebagian ulama’, sebab perkataan ulama membutuhkan dalil-dalil yang syar’i, dan tidak dijadikan sebagai hujjah membantah dalil-dalil yang syar’i tersebut.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, jilid:26/202)

Bahkan yang diketahui berhujjah dengan masalah khilafiyyah walaupun dalam perkara yang sudah sangat jelas kebatilannya adalah seorang zindiq yang bernama Ahmad bin Yahya bin Ishaq Abul Husain Ibnu Ar-Rawandi. Di saat menyebutkan masalah hukum nyanyian, maka dia membantah orang-orang yang menyelisihinya dengan menyebutkan bahwa telah terjadi perselisihan di kalangan para ulama dalam perkara ini.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Majmu al-Fatawa” (11/570) dan Al-Albani dalam “Tahrim Aalaat ath-Tharb (164):

Abu Abdirrahman As-Sulami menukilkan tentang hukum nyanyian dari Ibnu Ar-Rawandi bahwa dia berkata: Sesungguhnya para fuqaha berselisih tentangnya, ada yang membolehkan dan ada pula yang membencinya, sedangkan saya mewajibkan dan memerintahkannya.”

Sebagai tambahan faidah, silahkan merujuk ke kitab yang berjudul: “Zajr al-Mutahawin bi Dharar Qa’idah al-Ma’dzirah wat Ta’awun”, yang ditulis oleh Syaikh Hamd bin Ibrahin Al-Utsman, dan telah dimuraja’ah oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan dan direkomendasi pula oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, hafidzhahumullahu Ta’ala.

Sungguh benar apa yang disebutkan oleh salah seorang Syaikh senior Abdul Muhsin Al-Abbad hafizdhahullah, ketika beliau mengatakan setelah menyebutkan kisah dialog yang terjadi antara Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu dan Umar bin Al-Khattab radhiallahu anhu, tentang memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, beliau berkata:

وفي القصَّة دليلٌ على أنَّ السنَّةَ قد تخفي على بعض أكابر الصحابة ويطَّلع عليها آحادُهم، ولهذا لا يُلتفت إلى الآراء ولو قويت مع وجود سنة تخالفها، ولا يقال كيف خَفي ذا على فلان

“Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa As-Sunnah terkadang tersamarkan bagi para pembesar dari kalangan Shahabat dan diketahui oleh beberapa orang dari mereka. Oleh karenanya, tidaklah dipandang berbagai pendapat – walaupun kuat – apabila ada Sunnah yang menyelisihinya, dan tidak pula dikatakan: “Bagaimana bisa tersamarkan dari si fulan (??!)” (Dikutip dari kitab Fathul Qawiy al-Natin fi Syarhil Arba’in wa Tatimmatil Khamsiin, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, hal : 48)



Catatan Kaki:

[1] Saya mengatakan dengan ungkapan “isyarat”, sebab Ibnu Taslim tidak secara terang-terangan –atau mungkin juga belum punya keberanian- untuk mengatakan bahwa Syaikh Rabi’ mutasyaddid (terkenal keras dan mudah mengkritik dengan sebab-sebab yang menurut para ulama lainnya tidak mempengaruhi kedudukan yang dicerca).

Namun bagi siapa yang membaca makalahnya dengan seksama, maka dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya Syaikh Rabi’–lah yang dituduh dengan mutasyaddid dalam menjarh, tanpa dalil dan bukti, karena menyelisihi para ulama yang lainnya.

Mengapa anda tidak menyebutkan alasan dan hujjah Syaikh Rabi’ secara rinci? Mengapa hanya sekedar menuduh dengan tuduhan mutasyaddid agar jarh beliau ditolak mentah begitu saja??!

Sungguh ini merupakan tipu daya demi membungkus kebatilan maka digunakannya bahasa yang bersifat umum dan seperti dinyatakan dalam kaidah (الألفاظ قوالب ا لمعاني), “dibalik lafadz terdapat makna”.

[2] Seperti contoh salah satunya adalah Muhammad Al-Maghrawi, pendiri sekaligus ketua organisasi Dakwah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah di Maroko.

Dia adalah salah seorang yang tertuduh memiliki pemikiran takfir, dengan bukti sebagian ceramah-ceramahnya. Dan para ulama senantiasa memberikan nasehat kepadanya, diantaranya adalah Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafidzhahullah.

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang ucapan Al-Maghrawi dalam kitabnya: “Al-Aqidah as-Salafiyyah fi Masiratiha at-Tarikhiyyah”, ketika Maghrawi berkata:

“Inilah bai’at yang syar’i dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Imam Malik meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar bahwa Abdullah bin Umar berkata: Adalah kami jika membai’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mendengar dan ta’at (kepada penguasa), maka Rasulullah shallallahu laaihi wasallam mengatakan kepada kami: 

“Sesuai kemampuan kalian”, maka mendengar dan ta’at untuk Allah dan Rasul-Nya dalam hukum-hukum-Nya, dan dari orang yang menyampaikan hukum Allah dan Rasul-Nya, yang menegakkan syari’at Allah dan yang menegakkan hukum had dan menyerahkan hak yang dirampas oleh yang dzhalim untuk dikembalikan kepada yang didzhalimi, menegakkan keadilan diantara mereka, menegakkan shalat-shalat bersama mereka, mengambil zakat dan menegakkan haji bersama mereka, berjihad bersamanya melawan orang-orang kafir dan menjaga masyarakatnya sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri, memberi makan kepada orang miskin dan mengobati orang yang sakit, maka yang seperti inilah yang diberikan sikap loyal dan bai’at yang syar’i. Adapun selainnya, maka ia hanya sekedar mencuri dan tindakan maling yang dilakukan oleh segolongan para penipu yang menipu akal manusia.”

Maka Syaikh Ibnu Utsaimin mengomentari ucapan ini dengan jawaban:

“Ini orang emosional, ini orang emosional, tidak mengerti waqi’. Dia tidak tahu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk mendengar dan ta’at, walaupun dia merampas hak kita, memukul punggung kita dan mengambil harta.

Orang ini tidak tahu apa yang dialami para Imam yang mulia seperti Ibnu Hanbal dan yang lainnya dalam menyikapi para khalifah yang mereka lebih parah dibandingkan apa yang ada sekarang ini, yang menyiksa manusia agar mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk, berhati-hatilah! Berhati-hatilah dari orang ini dan yang semisalnya!”

(Dari transkrip kaset beliau, dari situs http://www.misrsalaf.com/vb/showthread.php?t=4605)

[3] Untuk lebih mengesankan “sikap netral” al akh Firanda dan yang bersamanya, terkadang mereka mengatakan: “Walaupun kami lebih condong kepada pendapat yang mengatakan untuk tidak bermuamalah dengan mereka”. Lihatlah suatu sikap yang aneh !

Maka kita katakan:

“Lalu untuk apa anda menulis pembahasan khusus untuk membela mereka dan yang bermuamalah dengan mereka ?!!, lalu yang berseberangan dengan mereka tidak boleh mentahdzirnya dan memperingatkan kaum muslimin dari bahaya hizbiyyah dan penyimpangannya, karena hal ini adalah termasuk masalah ijtihadiyyah ?”.

Maka terlihat jelas bahwa ‘lisan hal’ mereka mengatakan:

“Diamlah kalian wahai Ahlus Sunnah, jangan mentahdzir organisasi tersebut dan yang bermuamalah dengannya, sebab jika kalian mentahdzir mereka maka kalian termasuk hadadiyyah!”.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi, judul asli Cercaan Terhadap Ihya’ at-Turats adalah Jarh Mufassar. URL Sumber http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=532)



Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1131

Ulasan