Ihya At Turats, Boneka Abdurrahman Abdul Khaliq

Oleh Abu Karimah Askary bin Jamal Al Bugisi

Pada akhir pembahasan lalu, kami telah menjelaskan tentang ketidakpahaman serta kecerobohan Al-Akh Firanda dan yang bersamanya waffaqonallahu wa iyyahum lima yuhibbu wa yardha walaupun ia berusaha mentarjih permasalahan ini. Sayangnya ia seorang pentarjih yang kosong dari dalil, misalnya menganggap sebagian yang mentahdzir tidak termasuk jajaran ulama paling senior atau berdalil dengan naluri yang biasanya dilakukan oleh kaum shufiyyah dan yang lainnya. Juga kami membawakan tentang istilah fiqhul waqi’ yang dimaksudkan oleh para hizbiyyin semisal Abdurrahman Abdul Khaliq, mufti organisasi Ihya At Turats.

Maka pada edisi kali ini, kita akan menjelaskan perbedaan antara istilah fiqhul waqi’ buatan kaum hizbi, dengan kaidah “yang memiliki ilmu adalah hujjah terhadap yang tidak memilikinya”, lalu kita akan menjelaskan pula beberapa penyimpangan Abdurrahman Abdul Khaliq dan pengaruhnya terhadap perpecahan yang ada di berbagai negara secara umum serta di Indonesia secara khusus. Maka dengan mengharapkan pertolongan dan taufiq dari Allah, saya mengatakan:


Definisi Fiqhul Waqi’ Menurut Para Ulama

Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan “fiqhul waqi’ menurut istilah mereka, dalam beberapa kaset dari “Silsilah Al-Huda wan-Nuur”, diantara fatwa beliau tersebut ada yang sudah ditranskrip. Diantaranya yang ditranskrip oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafidzahullah Ta’ala dengan judul “Su’al wa jawab haula fiqhil waqi’” (Tanya jawab seputar fiqhul waqi’), yang dari penjelasan tersebut ada beberapa kesimpulan penting terkait dengan fiqhul waqi’ tersebut sebagai berikut :
  1. Istilah Fiqhul Waqi’ adalah nama yang mereka ada-adakan.
  2. Bila ilmu ini dipahami berdasarkan tinjauan syari’at, maka keadaannya sama dengan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama yang berbunyi “menghukumi sesuatu merupakan bagian dari penggambarannya” (الحكم على الشيء فرع عن تصوره), dan itu dapat dilakukan dengan mengetahui realitanya. Maka fiqhul waqi’ yang benar adalah mengetahui keadaan kaum muslimin atau makar dari musuh-musuhnya untuk memberi peringatan darinya, bukan sekedar teori semata, namun hendaknya berbentuk realita.
  3. Sebagian para pemuda Islam terbagi dua dalam menyikapi fiqhul waqi’, ada yang berlebih-lebihan yang mengangkat ilmu ini di atas kedudukan yang semestinya serta menghendaki agar setiap ‘alim harus mengetahui fiqhul waqi’ menurut versi mereka. Sebaliknya ada pula yang mengesankan bahwa orang yang lebih mengerti realita yang terjadi di dunia, maka dia adalah orang yang faqih (paham) terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan Manhaj Salaf. Padahal hal tersebut tidak mesti demikian.
  4. Tidak mungkin ada orang sempurna yang dapat mengetahui semua realita yang terjadi, sehingga yang wajib adalah bekerja-sama antara mereka yang mengerti realita, lantas mereka menerangkan gambarannya kepada ulama dan para mufti, lalu para ulama’-lah yang menjelaskannya dari sisi hukum syar’i yang dibangun di atas dalil yang shahih.
  5. Adapun mendudukkan orang yang mengerti realita tersebut sebagai ‘alim dan mufti, hanya karena dia mengerti tentang fiqhul waqi’, maka tidak terdapat sisi pembenaran sama sekali, yang dengan ucapannya dapat membantah fatwa para ulama, dan membatalkan ijtihad dan hukum yang mereka tetapkan.
  6. Berlebihan dalam mementingkan urusan fiqhul waqi’ sehingga menjadikannya sebagai manhaj bagi para da’i dan para pemuda, lalu mereka mendidik dan terdidik dengannya serta menyangka bahwa itu merupakan jalan keselamatan: adalah kesalahan fatal dan kekeliruan yang jelas.
  7. Penyakit yang menimpa kaum muslimin pada hari ini bukan disebabkan kejahilan mereka terhadap ilmu yang disebut fiqhul waqi’ ini, namun sebabnya adalah karena mereka mengacuhkan dalam pengamalan hukum-hukum agama, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  8. Terlalu mementingkan fiqhul waqi’ yang hukumnya fardhu kifayah (dengan tinjauan syar’i) dan kurang mementingkan urusan yang lebih penting yang hukumnya fardhu ‘ain, yaitu mempelajari Al-Qur’an dan As Sunnah: adalah menelantarkan dan mengabaikan apa yang menjadi kewajiban bagi setiap individu umat Islam.
  9. Wajib untuk bersikap “pertengahan” dalam mengajak kaum muslimin untuk mengenal fiqhul waqi’ dan tidak menenggelamkan mereka untuk menyibukkan diri dalam mengetahui berbagai berita politik, berbagai analisa dari para pemikir Barat. Namun yang wajib adalah selalu menyuarakan seputar pentingnya memurnikan Islam dari berbagai noda, dan mendidik kaum muslimin agar berada di atas Islam yang jernih dan murni.
  10. Adapun mencela sebagian ulama dan penuntut ilmu dan menuduh mereka tidak mengerti fiqhul waqi’ dan menuduh mereka dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan adalah kesalahan dan kekeliruan yang jelas.

Inilah sepuluh poin yang dapat saya simpulkan dari apa yang disebutkan oleh beliau rahimahullah Ta’ala. (selengkapnya silahkan merujuk langsung ke risalah tersebut).

Demikian pula Syaikhuna Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah Ta’ala menyebutkan fiqhul waqi’ model hizbiyyun, setelah beliau menjelaskan fiqhul waqi’ yang syar’i adalah memahami Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Lalu beliau berkata:

وقد ظن بعض المغفلين أن فقه الواقع أن تعرف كم شوارع باريس، وكم شوارع القاهرة، وكم شوارع أمريكا، وإذا لم تعرف الجغرافيا فما عرفت فقه الواقع.
فاعلم الناس بفقه الواقع هم أهل السنة وعلى رأسهم الشيخ ابن باز والشيخ الألباني – حفظهما الله -.
فأما فقه الواقع أن نصرف شبابنا إلى قراءة الجرائد والمحلات، وإلى استماع الإذاعات – ولسنا نحرم على الناس شيئًا أحله الله لهم – لكن أن نصرف الشباب الذين يصلحون لطلب العلم، نصرفهم إلى التمثيليات ، فالذي لا يمثل ما عرف الواقع، والذي ما عرف النشيد ما عرف الواقع، والذي ما عرف أن البشير هذا أحسن حكام المسلمين ما فقه الواقع، والذي لا يعرف أن الخميني إمام المسلمين ما فقه الواقع، والذي ما يعرف أن ضياء الحق كان رجلاً إصلاحيًا ما فقه الواقع، وضياء الحق هذا كان إسلاميًا بالقول، وأمريكيًا بالفعل – ولست أكفره -

“Sebagian orang-orang yang lalai menyangka bahwa fiqhul waqi’ adalah engkau mengetahui berapa banyak jalan yang ada di kota Paris, berapa banyak jalan di Kairo. Jika engkau tidak mengetahui Geografi, maka engkau tidak tahu mengerti fiqhul waqi’. Maka manusia yang mengerti tentang fiqhul waqi’ (berdasarkan tinjauan syar’i, pen) adalah Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Al-Albani hafidzahumallah (rahimahumallah, pen). 


Adapun fiqhul waqi’ yang maksudnya agar kami memalingkan para pemuda agar membaca koran-koran dan majalah-majalah, dan mendengarkan berbagai siaran radio –walaupun kami tidak mengharamkan sesuatu kepada manusia apa yang dihalalkan oleh Allah untuk mereka- . Akan tetapi kami memalingkan para pemuda yang punya kemampuan untuk menuntut ilmu, kami memalingkan darinya untuk memeriahkan acara teater, (kami memalingkan dari pendapat) yang tidak mengikuti acara teater berarti dia tidak mengerti fiqhul waqi’, yang tidak mengenal nasyid berarti dia tidak mengetahui fiqhul waqi’, yang tidak mengetahui bahwa Basyir (Sudan – pen) adalah pemerintah muslimin yang paling baik, yang tidak mengetahui bahwa Khomeini adalah imamnya kaum muslimin, maka dia tidak mengerti fiqhul waqi’, yang tidak mengetahui bahwa Dhiya’ Al-Haq adalah seorang yang melakukan perbaikan, maka dia tidak mengerti fiqhul waqi’ – dan Dhiya’ul Haq ucapannya menunjukkan Islam, namun perbuatannya menunjukkan dia seperti orang Amerika dan saya tidak mengafirkannya-. (Dikutip dari kitab Fadhaih wa Nasha’ih: 109).

Berkata pula Syaikh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala:

قال العلامة الفوزان رحمه الله تعالى:
( وأما الاشتغال بواقع العصر كما يقولون أو “فقه الواقع” فهذا إنما يكون بعد العلم الشرعي, إذ الإنسان بالفقه الشرعي ينظر إلى واقع العصر.وما يدور في العالم, وما يأتي من أفكار ومن آراء, ويعرشها على العلم الشرعي الصحيح ليميز خيرها من شرها , وبدون العلم الشرعي فإنه لا يميز الحق والباطل والهدى والضلال, فالذي يشتغل بادئ ذي بدء بالأمور الثقافية والأمور الصحافية والأمور السياسية وليس عنده بصيرة من دينه, فإنه يضل بهذه الأمور, لأن أكثر ما يدور فيها ضلال ودعاية للباطل, وزخرف من القول وغرور, نسأل الله العافية والسلامة.
(الأجوبة المفيدة عن الأسئلة المناهج الجديدة: 99)

“Adapun menyibukkan diri dengan realita di masa kini, seperti yang mereka katakan fiqhul waqi’, maka ini hendaknya bisa (dipelajari) setelah (mempelajari) ilmu syar’i. Sebab seseorang dengan fiqih yang syar’i dapat melihat kondisi masa kini dan apa yang terjadi di alam ini, juga apa yang muncul dari berbagai pemikiran dan pendapat dibangun di atas ilmu syar’i yang benar, agar dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Akan tetapi tanpa ilmu syar’i, maka tidak mungkin dapat dibedakan antara yang haq dan yang batil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Maka orang yang awal pijakannya dengan menyibukkan diri dengan pengetahuan umum, urusan berita koran, perkara politik, sementara ia tidak memiliki ilmu dalam agamanya, maka dia akan menjadi sesat dengan perkara-perkara ini. Sebab kebanyakan apa yang terdapat padanya adalah kesesatan dan propaganda terhadap kebatilan, dan ucapan yang ‘manis’ tapi menipu, kami memohon kepada Allah pemeliharaan dan keselamatan.”  (Dikutip dari kitab Al-Ajwibah al-Mufidah : 99).

Saya kira apa yang saya nukilkan dari keterangan para Ulama tentang istilah “fiqhul waqi” yang diinginkan oleh hizbiyyun cukup jelas, yang intinya adalah tujuan mereka dalam menggembar-gemborkan fiqih buatan hizbiyyun ini adalah:
  • Hendak menjauhkan para pemuda Islam dari mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan menyibukkan diri dengan berita koran dan majalah, dan yang semisalnya.
  • Menjadikan “fiqhul waqi’” sebagai jembatan untuk merendahkan kedudukan para ulama, sehingga umat tidak lagi menjadikan mereka sebagai panutan dan tempat mengembalikan berbagai problem yang sedang mereka alami. Sehingga pada saat mereka berfatwa dalam suatu permasalahan, terkhusus masalah yang bersifat kontemporer (semasa), maka dengan serta-merta mereka menjawab: “Ulama itu bidangnya hanya dalam masalah haid dan nifas saja”, atau “dia-kan bukan ulama mujahid…”, atau yang semisalnya.
  • Menjauhkan para pemuda Islam dari manhaj Salafus Shalih yang lebih mengutamakan urusan “At-Tashfiyah wat-Tarbiyah” [At-Tashfiyah adalah menjernihkan berbagai noda yang melekat dalam hati kaum muslimin, berupa noda syirik, kekufuran, bid'ah dan yang lainnya. Dan At-Tarbiyah adalah mendidik umat dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, berdasarkan pemahaman Salafus Shalih]
  • Menjadikan fiqih ini sebagai jembatan untuk melegitimasi sebagian apa-apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam.

Maka hal ini telah jelas, sungguh sangat jauh berbeda dengan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama, “menghukumi sesuatu adalah cabang dari penggambarannya”, juga kaidah, “yang mengetahui suatu ilmu adalah hujjah terhadap yang tidak mengetahuinya.” Sebab bukanlah diantara persyaratan sebagai seorang mujtahid atau mufti adalah mengetahui segala sesutu yang terjadi di dunia, atau dengan ungkapan lain, harus mengetahui sesuatu yang “sangat terkenal kiprahnya dan diketahui oleh banyak orang”. Jangankan seperti Syaikh Bin Baaz, atau Ibnu Utsaimin, atau yang lainnya dari kalangan para ulama –rahimahumullah-, bahkan setingkat Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam sekalipun – yang memiliki kerajaan yang luas yang meliputi jin, manusia dan hewan-.

Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ وَحُشِرَ لِسُلَيْمَانَ جُنُودُهُ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوزَعُونَ

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). (QS.An-Naml:16-17)

Namun kerajaan yang demikian luas yang beliau miliki, ternyata beliau tidak mengetahui sebuah kerajaan yang “sangat terkenal kiprahnya dan diketahui banyak orang”, sementara seekor burung Hud-hud yang kecil, yang tentunya jauh lebih rendah kedudukannya dibanding Nabi Sulaiman Alaihis salaam, justru memiliki “fiqhul waqi’” tentang kerajaan tersebut.

Allah Ta’ala mengkisahkan tentang percakapan antara Nabi Sulaiman dengan burung dalam firman-Nya:

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُّبِين ٍفَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ وَجَدتُّهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِن دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arsy yang besar”. Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. (QS. An-Naml:20-27)

Adapun yang menunjukkan bahwa Nabi Sulaiman tidak mengetahui kerajaan tersebut dari dua perkara:

Pertama: 
Ucapan Hud-hud, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya”.

Kedua:
Nabi Sulaiman ‘alaihis salam yang ingin membuktikan kebenaran apa yang diucapkan Hud-hud. Padahal bukankah ia punya sebuah kerajaan, yang tentunya sangat terkenal kiprahnya dan diketahui banyak orang ? Apakah ayat ini tidak cukup bukti bagi orang-orang yang mau berfikir, dan tidak mengekang dirinya dengan sikap ta’ashub dan fanatik buta tanpa hujjah?

Bila hal ini telah jelas, maka butuh adanya kerjasama (ta’awun) antara mustafti (yang meminta fatwa, atau yang bertanya) dengan mufti (yang berfatwa), kewajiban bagi mustafti adalah menjelaskan dari berbagai sisi gambaran permasalahan yang akan ditanyakan  baik positif dan maupun negatif– sehingga sesuatu yang ditanya tersebut dapat tergambar dengan jelas bagi seorang mufti. Sebab penggambaran yang keliru dapat menyebabkan fatwa yang keliru, bukan berasal dari keteledoran seorang mujtahid dalam menjawab, namun disebabkan kesalahan atau rekayasa si penanya dalam menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Dengan demikian, apa yang diucapkan oleh Al-Akh Firanda:

“Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam menolak fatwa-fatwa para ulama kibar, yaitu dengan tuduhan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada”, ini adalah kesalahan dan kecerobohan yang sangat fatal.


Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ihya At Turats
Abu Karimah Askary bin Jamal Al Bugisi
الميراث من فتاوى العلماء عن جمعية إحياء التراث
Kutipan Fatwa : Rekaman di Sahab.Net.
Sumber tulisan : http://darussalaf.or.id

Ebook compiled by : Akhukum Fillah La Adri At Tilmidz

Ulasan